Saya, Ramon Magsaysay dan Abdon Nababan
Sejak Selasa (25/7) kemarin, kasak-kusuk siapa penerima Ramon
Magsaysay Award 2017 sudah ramai dibeberapa grup aplikasi whatsapp yang saya
ikuti. Terus terang sejak mengendus informasinya pada kali pertama, terbesit niat
untuk mengkonfirmasi langsung kepada sosok nama dari Indonesia yang sangat
tidak asing bagi saya. Salah satu sosok penting yang saya kenal sejak 2008,
masa-masa dimana kedai Telapak di Baranangsiang Bogor tumbuh mempertemukan
berbagai kepentingan dan aktivisme.
Ya…disanalah saya mengenal seorang Abdon Nababan. Satu nama
dari Indonesia yang akan menerima penghargaan Ramon Magsaysay Award pada 31
Agustus 2017 nanti di Manila.
Wawancara Abdon Nababan (2013), paska pembacaan Putusan MK 35 di halaman gedung Mahkamah Konstitusi. Foto : Nura
Endusan pertama tak serta merta membuat saya percaya, maklum saja,
saat itu belum ada informasi resmi. Baik dari AMAN [Aliansi masyarakat Adat
Nusantara], organisasi yang selama 10 tahun dipimpinnya, maupun dari pihak Ramon
Magsaysay Award Foundation sendiri.
Kamis (27/7) pagi ini barulah saya berani mempercayainya. Ramon
Magsaysay Award Foundation sudah menyatakan dengan resmi bahwa nama Abdon
Nababan adalah penerima Ramon Magsasay Award 2017 untuk kategori Community
Leadership dari seluruh Asia.
Hari ini,
Ramon Magsaysay Award Foundation mengumumkan nama Abdon bersama empat orang dan
satu organisasi/lembaga yang menerima penghargaan ini. Mereka adalah Yoshiaki
Ishizawa dari Jepang; Lilia de Lima, Filipina, Gethsie Shanmagum dari Sri Lanka
dan Tony Tay dari Singapura. Untuk lembaga yang menerima penghargaan adalah Philippine
Educational Theater Association.
Sebagaimana tertulis di rmaward.asia, Abdon dipilih karena
dinilai sebagai satu sosok pemimpin perubahan. Keberanian dan advokasinya
menjadi suara dan wajah bagi Masyarakat Adat di Indonesia. Penegasan yang kiranya
sulit untuk dibantah, sangat tepat malah..
Mengenal Abdon adalah pintu pertama saya mengetahui persoalan
Masyarakat Adat di Nusantara. Jangan salahkan pandangan saya, bahwa beliau
adalah representasi ke-kini-an Masyarakat Adat tak hanya Indonesia tapi juga
dunia, rasa-rasanya ini pun juga terjadi pada tiap-tiap orang yang mengenalnya.
Kiprah mendalamnya soal komunitas adat telah berlangsung
sejak lama, bahkan jauh sebelum reformasi (1998) dan AMAN dideklarasikan pada
1999.
Abdon merupakan pemimpin perjuangan Masyarakat Adat di Nusantara. Acara lima-tahunan Kongres Masyarakat Adat Nusantara menunjuknya sebagai Sekretaris Jenderal AMAN, yaitu 2007-2012 dan 2012-2017. Selepas Kongres di Medan Maret lalu, Abdon didaulat untuk duduk di Dewan AMAN Nasional 2017-2022 mewakili Region Sumatera.
Abdon merupakan pemimpin perjuangan Masyarakat Adat di Nusantara. Acara lima-tahunan Kongres Masyarakat Adat Nusantara menunjuknya sebagai Sekretaris Jenderal AMAN, yaitu 2007-2012 dan 2012-2017. Selepas Kongres di Medan Maret lalu, Abdon didaulat untuk duduk di Dewan AMAN Nasional 2017-2022 mewakili Region Sumatera.
Satu hal yang membuat saya berkesan, dibalik ‘mitos’ yang
tumbuh tentang sosoknya, Abdon adalah pribadi yang rendah hati dan mau
mendengar. Kemampuannya memahami persoalan dengan telaten, konsisten dalam
bersikap dan ketegasannya dalam memperjuangkan suara Masyarakat Adat, tak
serta-merta menghilangkan pembawaannya yang gemar membaur dan bercanda…pun
dengan kami-kami yang beda usia dan beda generasi.
Pembawaannya yang demikianlah yang membuat saya tak heran soal penghargaan ini yang membuatnya terkejut. Abdon tak pernah membayangkan
sebelumnya, bahwa apa yang telah diperjuangkannya akan mendapat penghargaan
setinggi itu.
“Saya
pun sampai hari ini tak tahu bagaimana prosesnya sampai nama saya masuk jadi
calon penerima Magsaysay Award ini. Kejutan menyenangkan, karena hadiah
ini bukan hanya untuk saya, tetapi untuk ribuan orang yang selama 24 tahun
terakhir berjuang bersama saya dalam gerakan masyarakat adat di Indonesia,”
katanya, sebagaimana ditulis mongabay.
Sebagai
catatan, sebagaimana dirilis aman.or.id. Dalam periode kepemimpinannya, kerja
AMAN telah berkontribusi positif terhadap perjuangan hak-hak Masyarakat Adat di
negara ini. Beberapa di antaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi no.
35/PUU-X/2012 tentang Hutan Adat, pencantuman peta wilayah adat sebagai peta
tematik oleh Badan Informasi Geospasial, dan Inkuiri Nasional oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia tentang pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat di
kawasan hutan. AMAN pun secara aktif mendorong dan memfasilitasi Rancangan Undang-Undang
Masyarakat Adat (RUU MA). RUU ini kini ada di Program Legislasi Nasional DPR RI
untuk 2017.
Waktu
itu, saya menyaksikan sendiri bagaimana seruan bang Abdon kepada anggota AMAN paska
Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 lalu itu, yang kemudian direspon dengan
pemancangan plang pernyataan kawasan hutan adat bukan lagi hutan negara diberbagai
wilayah di Nusantara.
Masih
di periode kepemimpinannya, AMAN memastikan pencantuman enam poin terkait
Masyarakat Adat di dalam Visi dan Misi Presiden Joko Widodo (dikenal sebagai
NAWACITA). Hasil paling nyata adalah penyerahan Surat Keputusan Pengakuan Hutan
Adat kepada 9 Masyarakat Adat oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada
akhir Desember 2016.
Ramon
Magsaysay Award adalah penghargaan untuk kepemimpinan yang menginspirasi dan
membawa perubahan. Beberapa nama individu dari Indonesia pernah mendapat
penghargaan ini, diantaranya adalah Ali Sadikin (1971), Nafsiah Mboi (1986), HB
Jassin (1987), Abdurrahman Wahid (Gusdur) (1993), dan Syafi’i Ma’arif (PP
Muhammadiyah) pada 2008, Hasan Juaini (2011), Tri Mumpuni (2011), Ambrosius
Ruwidrijarto (2012) dan Saur Marlina Manurung (2014).
Bersama
Abdon dan Ruwi (Ramon Magsaysay Award awardee 2012), saya terhubung dan tergabung dalam satu
wadah perkumpulan Kaoem Telapak yang berbasis di Bogor.
Leave a Comment